Sebuah kisah pilu, mewarnai kelamnya hari. Masih tergiang sebuah goresan waktu yang tertuang satu dasawarsa yang terakhir. Dia pergi dengan setengah pengharapan dan energy. Meninggalkan diri lain dengan gontai dan luluh. Hari ini, 12 April 2010, catatan itu terbuka kembali dengan hadirnya sang penghangat diruang terbuka jiwa. Pada jejak-jejak kaki yang masih berbekas senyap, pada pinggir kolam yang belum sempurna kering, pada zona putih yang tetap bersih.
Banyak cerita tergores dalam rinai pagi dan temaram senja. Pada sebuah kebersamaan yang berakhir dengan rapuh. Ketika semua dilalui, betapa pengharapan itu indah besar. Rencana-rencana baik tersusun dengan rapi, catatan yang belum usai disempurnakan. Dia pergi dengan gontai dan sempoyong menjemput titah sang bunda untuk segera berbenah melengkapi kehidupan. Sejenak hening dan akhir takdir berkhendak jua. Dua rasa terpisah oleh sekatan lain yang nyata adanya. Melompati jurang keinginan yang tak kuasa direngkuh lagi.
Kilas balik memang tidak seperlunya dirunut. Agar api segera padam oleh guyur hujan dan waktu. Tetapi, hari ini agak lain kejadiannya. Dia berani hadir dengan sepasukan pengawal mungil tanpa panglima. Menapaktilasi perjalanan jauh yang pernah dilalui. Diujung abad lalu di wilayah dingin kota sejuk Malang yang mengesankan. Tercipratlah ceceran memori yang sekian waktu disimpan pada falshdisk benak yang lama.
Sebuah perhelatan emosional yang panjang. Dengan luncuran kata sesal yang berapi, mimik yang sulit dimaknai dengan kata. Setelah satu dasawarsa tersimpan dalam peti Pandora hati. Meminta sungguh untuk melupakan dan dilupakan selama lamanya. Menyesali pertemuan dengan menghindari fakta yang terkemuka. Memantik sentimental yang belum seluruhnya menguap habis. Sesuatu yang sulit diungkapkan kembali dengan kata yang sama pada waktu berbeda.
Sekian waktu sang sahabat mencari keseimbangan diri dalam gontai rasa unik. Dalam diam selalu mencoba memahami lebih jauh alur catatan yang tergores. Akhirnya, saat-saat diujung kabut lalu menyerah pada gurat takdir yang berkhendak ampuh. Memetik hikmah dari keramahtamahan Tuhan. Ada yang terbaik untuk tersajikan pada gumpal waktu baru. Sebuah kisah keindahan.
Satu dasawarsa yang lalu, terngiang kata minta untuk mengabdikan prasasti ini dengan monument abadi untuk membuktikan rasa pengap hampa hati. Kiranya, itu adalah sesuatu yang emosional sesaat. Tetapi sungguh, kini menjelma menjadi fakta yang hidup. Dia bercanda dan mengulang dengan nada panggil yang mengiriskan hati segenap. Mengisi hari-hari yang ada untuk selamanya. Sebuah keabdian terukir dalam prasasti temurun yang sulit terlupakan. Sebuah nama yang terkutip dari kisah keindahan pada satu dasawarsa terakhir dalam babad tanah jawi.
Seluruhnya adalah ketulusan yang tak terungkapkan dari seorang penghangat pada sekurun waktu yang telah membisu dingin. Dia memang mutiara yang kukuh dengan tetap mengkilatkan cahaya pada seluruh waktu yang mengalir. Semoga engkau selalu dalam ridho Allah SWT. Selamat mengentaskan asa baru. Duhai……..
Malang, 12 April 2010
(dedikasi untuk sahabat terbaik satu dasawarsa lalu)
WELCOME MY GUEST
Hellow.
Dari banyak kisah perjalanan kita, semestinya banyak yang bisa dipungut untuk menjadi catatan pinggir kehidupan. Saatnya untuk membagi kepada semua sahabat sebagai pelajaran hidup. Catatan Pinggir Jalan.....
Senin, 12 April 2010
DASAWARSA LALU
Label:
Dasawarsa Lalu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih