Satu jam yang lalu, saya terperangkap macetnya lalu lintas di daerah bencana Porong Sidoarjo. Dampak lumpur Lapindo Berantas telah menghancurkan sarana transportasi utama jalan raya Porong. Saat ini, untuk kesekian kalinya ditimbun lagi guna meninggikan ruas badan jalan tersebut agar tidak tergenang hujan yang masih saja mengguyur deras. Akibatnya, macet lagi-macet lagi.
Jalan raya Porong itu jadi vital bagi saya yang sedang menempuh pendidikan lanjut di Unibraw Malang. Saya tinggal dikota Suarabaya bersama keluarga kecil. Sekitar dua tahun saya mengakrabi jalan ini dengan ragam kompleksitas masalah yang mewarnainya. Salah satu masalah utamanya adalah Razia Ilegal para polisi lalulintas, selain macet yamg telah saya ceritakan sebab musababnya tadi.
Setela keluar dari perangkap macet dan panasnya suasana sekitar Lapindo Berantas tepatnya dipertigaan mulut Tol Porong, kalau dari arah Surabaya menuju Malang maka kita akan memasuki pasar porong. Jalannya padat dan penuh dengan kendaraan besar. Sebelum pasar terdapat gang kecil sebelah kiri jalan dari arah Surabaya terdapat razia oleh para polantas yang dengan sergap menahan banyak kendaraan khususnya roda dua. Hari ini mungkin agak sial bagi saya, saya ditahan dan digiring masuk kearah gang tersebut. Setelah basa basi saya ditunjukkan ragam pelanggaran yang ada pada motor saya. Spionnya kurang satu, tidak punya baut/mur, dengan inisiatif sendiri saya tunjukkan surat-surat kendaraan dan SIM. Saya dialihkan ke petugas lain yang sedang sibuk dengan corat-coret surat tilang yang dibawanya di atas motor patroli polantas itu. Surat-surat saya ditahan.
Sambil menunggu giliran, saya didatangi oleh petugas lainnya. “Sudah tahu pelanggarannya?” ujarnya. Dengan tegas mantap saya jawab “ saya tidak tahu”. Mendengar jawaban saya Akhirnya saya dialihkan ke petugas lainnya lagi. Entah apa dalam pikirannya, mungkin saja masih ada semburat ketakutan dalam lubuk hatinya. Petugas itu berjalan dan bergabung dengan teman lainnya kearah jalan, tentu saja, untuk menangkap mangsa baru lagi.
Petugas yang sibuk dengan surat tilang diatas motor polantasnya tadi memegang surat-surat saya. Bertanya dan menyelidik ”pelanggarannya apa ?”. Saya jawab “ kaca spion hanya satu”. “Wah itu Rp. 51.000” Saya bingung dengan cermatnya sang petugas menghafal nomimal rupiah yang jadi sanksi. Setahu saya biasanya petugas yang intelek akan menjelaskan pasal-pasal dan baru menjelaskan sanksi yang termuat dalam UU Lalu lintas. “Mau bayar di sidang pengadilan atau dititipkan disini ? ” Saya makin tercengang dengan tingkah aneh petugas Polantas dikawasan bencana ini. Menawarkan jasa penitipan yang sangat “tulus” tentunya. Sengaja kata TULUS saya beri tanda kutip karena saya tidak menangkap irama ketulusan sama sekali. Sekedar sebuah sarkasme semata. Bagaimana tidak, penawaran jasa penitipan ini tidak didukung oleh sikap yang tulus pula. Sekelompok petugas yang memakai masker penutup wajah, pakaian dinasnya tidak terbuka seluruhnya alias nama identitasnya tidak terlihat sama sekali, dengan berani menawarkan jasa penitipan pula. Untuk apa kata TULUS perlu dilontarkan ?.
Saya juga paham bahwa dengan spion hanya satu memang melanggar aturan lalu lintas, tetapi cara petugas menindak pelanggaran yang kurang saya pahami. Dalam aturan yang sempat saya browsing, bahwa aturan razia juga sangat penting dimana lebih kurang 50 meter sebelum tempat razia harus ada tanda pemberitahuan. Petugas harus menanyakan surat kelengkapan kendaraan dan SIM. Memperkenalkan diri dengan sopan, tidak menggunakan masker penutup muka, punya identitas lengkap. Saya juga bertanya dipengadilan mana persidangan dilakukan, jawabnya “Pengadilan Sidoarjo”.
Sebagai orang luar daerah tentu saja saya tidak tahu menahu dimana gedung itu berada.
“Bayar sekarang atau dipengadilan” ujarnya lagi. “Kalau saya sidang surat apa yang ditahan?” Tanya saya. “STNK dan sidangnya tanggal 25” ketusnya. Dalam hati, saya geli dan gelo, barabe neh saya ga bisa kemana-mana dengan motor. Padahal saya sedang butuh bimbingan mengakhiri tesis akhir. “Bayar disini sekarang atau mau apa?” wah rupanya mereka ga sabar lagi. “Banyak yang antri kok” tepisnya lagi. Saya diharuskan untuk mengeluarkan jurus negosiasi juga. “Pak, saya hanya spion yang kurang, saya mahasiswa buru-buru neh, saya minta keringanan saja”. Dengan alotnya negosiasi nomimal itu saya gugat. Terlalu besar untuk ukuran pelanggaran ringan ini. “Boleh kurang tapi Cuma Rp. 1000 (seribu)” ujarnya mesem-mesem. “Terserah, saya hanya punya Rp. 20.000 saja” kata saya.
Mungkin sudah kesal, atau antrian baru mulai menumpuk maka petugas itu mengalah. “Ya sudah, sini Rp. 30.000 saja” ujarnya. Saya juga sudah diburu waktu maka saya keluarkan Rp. 25.000. “Cepat mas” hardiknya. “Kok kurang” tambahnya lagi. Saya akhirnya tambahkan Rp. 3.000 lagi sebagai bentuk protes saya tidak mau menggenapkan apa yang dimintanya.
Akhirnya, hukum atau aturan lalu lintas saya beli dengan harga murah Rp. 28.000 hari ini. Pelajaran buruk bagi penegakkan hukum yang sedang kita risaukan hari-hari terakhir dinegeri ini. Pada “pasien” lainnya terlihat mereka tergeleng-geleng kepalanya pertanda protes. Sialnya, hanya itu yang bisa dilakukan pada saat razia legal ini berlangsung. Penuturan warga sekitar daerah itu bahwa praktek ini sering dan berlangsung cukup lama ditempat saya membeli aturan ini. Kasihan negeri ini, para aparatnya seenaknya tawar menawar aturan tampa standart yang jelas.
Satu kalimat yang sangat sedih dan terdengar lirih bagi saya dari mulut manis petugas yang diperuntukan untuk kelancaran lalu lintas itu, tentu saja masih dalam tutupan maskernya, “Jauh-jauh dari Bima……………….??????.........?”. Isyarat bahwa dia belum puas dengan nominal yang dibayarkan. Kalau ini bukan rakus tentu tidak menghargai perbedaan dan daerah lain. Sangat disayangkan…?
Pembaca, inilah cikal bakal keruntuhan. Penegak hukum tidak bertindak sesuai hukum itu sendiri. Lebih miris lagi, sedemikian murahnya sebuah hukum. Semoga tidak terulang dan tidak ada petugas Negara yang mengulanginya lagi. Semoga notes singkat ini bisa dibaca oleh para petugas abdi Negara, bil khususnya, Polisi Lalu Lintas, untuk berbenah dan sadar diri.
Semoga ini tidak menegaskan sebuah pameo sarkasme polisi lalu lntas kita: hanya ada 3 polisi baik, 1. Polisi Hoegeng, 2. Patung Polisi dan 3. Polisi Tidur.
Fahrinotes.
Porong Sidoarjo, 15 Juni 2010
(Korban)
WELCOME MY GUEST
Hellow.
Dari banyak kisah perjalanan kita, semestinya banyak yang bisa dipungut untuk menjadi catatan pinggir kehidupan. Saatnya untuk membagi kepada semua sahabat sebagai pelajaran hidup. Catatan Pinggir Jalan.....
Selasa, 15 Juni 2010
MURAHNYA HUKUM LALU LINTAS.
Label:
MURAHNYA HUKUM LALU LINTAS.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Tulisan yang menarik kawan, lain kali kalo mau jalan2, lengkapilah kendaraan bermotornya, selain menghindari denda razia, penting sekali untuk keamanan dijalan..hehehe...
mas ery. polantas sekarang ga kenal ramah lg. asal pelanggaran ditukar rupiah. hehehe....untung ada polisi tidur...
itulah Produk polisi kita... yg baik ada tp lebih banyak yg bajingan... hehehehehehe
Posting Komentar
Terimakasih