Pandangan ini sangat penuh subjektifitas, karenanya boleh saja digugat dengan amarah sekalipun. Namun, realitas aneh telah melanda sekalangan mahasiswa dengan hedonisme yang luar biasa adanya. Sebuah capaian yang sangat jauh dari predikat mahasiswa yang nota bene berlomba dan mengutamakan rangkaian prestasi dan mendongkrak prestise. Sungguh, ini memiriskan karena dilakoni oleh sang calon intelektual pada saat berada dikawah candra penggemblengan diri untuk bersiap memasuki gelanggang kehidupan nyata. Hedonik, gaya hidup yang mengutamakan kesenangan diri meski melanggar tata, nilai, krama, fitrah dan pula ajaran agung bernama agama.
Baru-baru ini, survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar mengungkap, 97 persen remaja pernah menonton atau mengakses pornografi, 93 persen pernah berciuman bibir. Sedangkan 62,7 persen pernah berhubungan badan dan 21 persen remaja telah melakukan aborsi. Data tersebut cukup menjadi alasan kuat bagi semua pihak untuk mencemaskan masa depan putra-putri yang tengah berajak dewasa ini. Apa yang terjadi dengan remaja Indonesia saat ini? Lalu bagaimana cara menangkal anak-anak generasi masa depan bangsa ini tidak terjerumus dalam lubang free sex?
Dulu, dua tiga dekade lampau, dikampung saya ujung timur negeri gersang yang bernama Bima, gaya pacaran masih beradab dan penuh norma etika. Menemukan seorang wanita yang berbusana sedikit minim di tempat umum adalah “keberuntungan” adanya. Disebut beruntung karena itu hal langka dan sulit dijumpai. Saat ini, keadaan telah berada situasi yang bergeser terbalik. Justru sangat mudah melihat ketatnya “kaos adek” dari gerombolan gadis-gadis muda yang berkeliaran diwilayah publik. Sesungguhnya, sebenarnya hanya layak digelar di ruang privat semata. Kalau ada anak laki-laki muda yang sedang “silaturrahim” dengan sang pujaan diteras rumah, biasanya sangat malu bila ada orang yang lewat dihalaman melihat acara kencannya. Tapi kini, kadang orang yang lewatlah yang buru-buru berganti arah karena malu melihat kemesraan pasangan muda di emperan teras rumahnya. Sebuah pergeseran nyata akan budaya malu. Malu bukan lagi milik pelaku dan pelanggar norma yang dengan mesra berhimpitan manja, melainkan diperuntukkan kepada siapapun yang menyaksikan pelanggaran itu terjadi. Intinya, malu bukan pada pelakunya lagi tapi pada saksi.
Kini, kembali pada tema mahasiswa masa kini, hinggar binggar kota telah melenakan sang generasi muda kita. Mahasiswa yang awalnya sangat teguh dengan tekadnya untuk meraih sebanyak mungkin pengetahuan dan ilmu untuk membekali diri, perlahan luntur dan rubuh, memanfaatkan kesempatan yang ada, selagi jauh dari jangkauan pengawasan sang Pembina disiplin, orang tua. Gelagat yang kian mudah terbaca semakin banyak saja kasus “kecelakaan” dibanyak daerah/kota tujuan pendidikan kita. Luar biasanya, kejadian-kejadian yang saya temui setahun terakhir ini, “kecelakaan” hebat itu justru disebabkan oleh “bentrok yang manis” antar sesama mahasiswa/mahasiswi dari satu daerah. Dari negeri yang sama saling “menabrak” melabrak batas-batas yang sepatutnya. Sepertinya, gejala ini menjurus pada geliat predatorisme. Saudari dari satu kampung bukan lagi dijaga layaknya pagar bagi tanamannya. Tetapi, dengan tega “dimangsa” oleh sekumpulan kambing pemamah biak. Bukan berarti kita memaklumi kalau umbar nafsu meski bukan pada saudara sekampung itu boleh, tetapi kita disini bisa mencermati bahwa demikian semakin ganasnya hedonisme kalangan ini.
Terakhir, betapa galaunya hati, ketika mendengar sumpah serapah, cerita bangga, senyum simpul dan bahkan menganggap sebuah pencapaiaan prestasi rasanya, ketika saudara-saudara muda kita menepuk dada mendeklarasikan diri bahwa mereka telah berhasil dengan mantap “menikmati” lalapan daun muda. Rasa bangga yang bergeser terbalik dari bidang-bidang prestasi akademik, ketrampilan dan prestise kepada aktifitas hedonis, perampasan harapan dan pelanggaran fitrah. Bukankah itu sesungguhnya adalah sebuah aib dan layak malu ?
Bagi kita sebenarnya ini adalah tragedy !!!!
Pembaca, ini bukan mengada-ada tapi realitas yang tengah terjadi ditimbun oleh dinginnya cuaca dan kurangnya rasa peduli kita semua. Wahai orang tua yang baik, anak-anak kita tengah membutuhkan perhatian yang lebih lagi dari kita walau jarak yang jauh. Wahai diri, resapkanlah kesadarn yang tertinggi lagi. Moga kita, lebih khususnya teman mahasiswa/i, jauh dari yang sedemikian itu.
Malang Hening Malam,
28 Mei 2010
(fahrinotes)
Salam.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih