MENTERI Pendidikan Nasional (Mendiknas) M. Nuh mengatakan bahwa guru besar Indonesia belum mumpuni. Pernyataan itu disampaikan ketika Mendiknas mengadakan pertemuan dengan kalangan media di Surabaya beberapa waktu lalu, sehubungan dengan banyaknya pengukuhan guru besar (gubes) yang diselenggarakan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS).
Prof. Dr. Monyeto__Perfecto_Profesoro
Pernyataan M. Nuh itu perlu menjadi renungan kita semua. Mengapa seorang menteri sampai menyatakan kegundahannya seperti itu?
Dalam menjalankan tugas di perguruan tinggi (PT), seorang dosen (baik gubes atau non-gubes) diwajibkan untuk melaksanakan tridarma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di bidang pendidikan, saya tidak melihat ada hal penting yang menjadi kegundahan Mendiknas. Hampir tidak ada satu pun gubes di Indonesia yang tidak mumpuni di bidang pendidikan.
Demikian juga pengabdian kepada masyarakat yang meliputi kegiatan, di antaranya, ceramah dalam seminar, nara sumber dalam pelatihan, kursus, dan sejenisnya, pasti telah dilaksanakan dengan mumpuni oleh semua gubes di Indonesia. Di bidang penelitian juga tidak ada masalah. Semua gubes pasti telah melakukan kegiatan itu. Di antara keseluruhan aktivitas tridarma perguruan tinggi, kegiatan penelitian minimal 25 persen harus dipenuhi seorang gubes (juga dosen non-gubes).
Kualitas Penelitian Rendah
Lalu, apa yang menjadi kegundahan Mendiknas? Mungkin, jawabannya adalah kualitas penelitian yang dilakukan hampir sebagian besar gubes di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga, apalagi dengan negara maju (Eropa dan Amerika). Diperkirakan, tidak lebih dari 20 persen hasil penelitian gubes di Indonesia menghiasi jurnal internasional. Sebanyak 80 persen lainnya hanya diterbitkan dalam jurnal nasional, bahkan jurnal fakultas atau universitas yang hanya dibaca dan disitir oleh teman sejawat.
Bahkan, tidak ada satu pun hasil penelitian rektor di dua PTN terkenal di Jawa Barat dan Jawa Timur -kalau kita simakcurriculum vitae-nya- muncul di jurnal internasional. Karya internasionalnya terbatas pada naskah yang dipresentasikan di international conferences atau seminars, yang menurut ahli di Barat hanya merupakan forum komunikasi antarahli. Naskah di dua kegiatan itu baru dapat diterima dan dimuat di jurnal internasional setelah di-review sedikitnya oleh dua ahli sebidang. Jika memenuhi syarat, karya itu diterima. Jika tidak memenuhi syarat, ditolak.
Suatu survei oleh Scientific American menunjukkan bahwa kontribusi ilmuwan (termasuk gubes) Indonesia pada khazanah pengembangan dunia ilmu setiap tahun hanya sekitar 0,012 persen (12 publikasi/100.000 ahli), yang jauh berada di bawah kalau dibandingkan dengan USA yang besarnya lebih dari 20 persen. Oleh beberapa ahli barat, jerih payah upaya ilmuwan Indonesia untuk ikut berkontribusi terhadap perkembangan khazanah ilmiah dunia diistilahkanlost science in the third world.
Pernyataan bernada sumbang itu terutama disebabkan hasil yang disumbangkan ilmuwan Indonesia tidak sampai ke hadapan mitra bestari sesama ilmuwannya yang sebidang hanya karena ditulis dalam berkala yang berjangkauan terbatas. Keterbatasannya disebabkan sempitnya sirkulasi persebaran publikasi dan berkala tiras yang sedikit sehingga tidak dilanggan oleh perpustakaan utama pusat kegiatan ilmiah internasional, serta penggunaan bahasa yang tak terbacakan secara luas. Akibatnya, judul tulisan karya ilmuwan Indonesia tak tertampilkan dalam layanan cepat bibliografi dan kata kuncinya tak terambil oleh penyedia pindaian internet.
Keprihatinan Mendiknas sebenarnya terletak pada peraturan yang dibuat oleh Mendiknas sendiri tentang syarat-syarat menjadi gubes. Di dalam peraturan sama sekali tidak ada persyaratan bahwa untuk menjadi gubes harus memiliki karya publikasi internasional. Karena kemudahan itu, banyak fakultas dan universitas mengambil peluang untuk berlomba-lomba membuat jurnal baru di lembaga masing-masing. Banyak dosen membuat penelitian ala kadarnya, lalu memublikasikan di jurnal lembaga masing-masing agar cepat naik jabatan.
Profesor Masturbasi
Karena kemudahan menjadi gubes di Indonesia, kini ada istilah Profesor Masturbasi. Yakni, seseorang yang mendapatkan gelar keprofesorannya melalui karya yang dilakukan sendiri. Penelitian dilakukan sendiri (biaya sendiri, tidak berkolaborasi dengan lembaga lain), ditulis sendiri (tidak di-review oleh ahli sebidang dari negara lain, tetapi di-review oleh teman sendiri), dipublikasikan di jurnalnya (milik lembaga sendiri), lalu untuk naik pangkat/jabatan sendiri. Cerdas juga yang membuat istilah tersebut karena masturbasi memang dilakukan sendiri, bahkan cenderung sembunyi-sembunyi.
Sekarang Indonesia telanjur memiliki begitu banyak gubes. Dan, haruskah kita teruskan mencetak gubes-gubes baru dengan kriteria yang kita miliki sekarang? Sudah saatnya Mendiknas mempertimbangkan untuk membuat persyaratan baru menjadi gubes. Salah satu di antaranya, harus memiliki sedikitnya dua atau tiga publikasi internasional (bukaninternational conferences atau seminars).
Jika persyaratan ini dilaksanakan, niscaya Indonesia akan memiliki gubes-gubes yang mumpuni di segala bidang (tridarma perguruan tinggi). Dan, Mendiknas dijamin tidak akan gundah lagi.
Bagi dosen yang sudah gubes, tetapi belum pernah sama sekali memublikasikan karyanya di jurnal internasional (jumlah gubes ini sangat banyak di Indonesia), inilah saat yang tepat untuk melaksanakan itu(menulis di jurnal internasional). Hal itu tentu saja tidak berlebihan, apalagi berkaitan dengan diberikannya tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan kepada gubes. Semoga. (*)
Sumber :
*). Agoes Soegianto, Guru Besar Biologi Lingkungan Universitas Airlangga
Jawa Pos : Jum'at, 12 Februari 2010
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih