WELCOME MY GUEST

Hellow. Dari banyak kisah perjalanan kita, semestinya banyak yang bisa dipungut untuk menjadi catatan pinggir kehidupan. Saatnya untuk membagi kepada semua sahabat sebagai pelajaran hidup. Catatan Pinggir Jalan.....

Kamis, 24 Juni 2010

JALAN KEHIDUPAN.

Malam ini, 22/06/2010, saya berangkat dari kota metropolis Surabaya menuju Malang pada jam menunjukkan pukul 21.00. Entah mengapa jalanan rada sepi sehingga saya dengan berani memacu motor andalan Honda Kharisma 125 cc. Dalam benak saya ingin sekali menyaksikan babak penyisihan piala dunia antara Swiss dan Chille. Saya naksir berat dengan kekompakkan dan mobilitas permainan Chile yang super aggresif. Lawannya Swiss beberapa hari yang lalu juga dengan gagah melabrak juara eropa Spainish dengan skor tipis 1-0. Sepertinya ini big match deh. Chille menghajar Honduras juga dengan skor tipis 1-0. Siapapun yang menang bakal lolos langsung ke putaran berikutnya 16 besar.

Singkatnya, setelah memacu motor saya dengan kencang akhirnya masuk gerbang Malang tepatnya di Lawang. Depan statsiun kereta api Lawang saya berhenti disebuah warung kopi yang sedang menyaksikan laga yang saya ceritakan tadi. Swis bentrok Chille. Lumayanlah saya bisa menyaksikan laga tersebut meski sudah memasuki menit ke 63 (babak kedua). Pesan kopi susu panas penghilang dingin yang menusuk sambil fokus pada laga seru kedua kesebelasan. Benar saja, Chille tampil memukau dengan serangan agresif yang seperti saya duga. Tapi Swiss juga tampil lebih hebat juga dibanding saat bentrok dengan Spanish yang hanya mengandalkan serangan balik. Kedua kesebelasan sangat memukau. Rasanya seperti nonton laga final saja. Meski pada akhirnya Chile bisa menepis kebuntuan dengan mencetak gol 1-0. Adalah Gozalo Fernandez sang pencipta gol. Kedua team benar habis-habisan. Salut buat kedua team.

Jam bergerak pada pukul 23.40 wib. Malang kian sepi dan dingin. Saya bergegas melanjutkan perjalanan dengan rasa puas adanya. Saya menghidupkan motor dan siap memacu kembali. Dari sudut gang kecil muncul sesosok lelaki separuh baya. Menghampiri saya tapi tidak berkata. Diam saja tapi sorot matanya hendak menegur. Saya berinisiatif menyapanya “Mau kemana pak ?”. Dengan setengah ragu bapaki tu menunjuk arah selatan (menuju ke Malang kota) yang searah dengan arah saya melanjutkan perjalanan. Saya kembali menegaskan “ Kesana ya pak ?” tegas saya. “Ayo pak bareng saya” ajak saya. Pada malam yang sudah larut saya pikir sudah tidak ada lagi kedaraan umum yang beroperasi. Bapak itu naik dan berada diboncengan. Lumayanlah buat teman ngobrol dijalan pikirku.

Benar saja, tampa saya minta Bapak itu benar-benar bercerita tentang pengalamannya yang sudah dilalui dalam kehidupannya yang sudah separuh baya. “Saya bukan asli orang Jawa, saya dari Lampung Sumatera” katanya. “Sebenarnya saya punya keluarga, isteri asli Lawang sini tapi saya diusir oleh isteri” ujarnya lirih. “Memang kerjaan saya serabutan tapi dia berselingkuh dengan pria lain, dia sudah jadi semacam setan bagi saya sekarang” timpalnya. Benak saya berputar mencari-cari kemana arah pembicaraannya. Dari lubuk saya sedikit percaya dengan guratan keluguan seorang laki-laki paruh baya yang sering saya jumpai. Tidak ada gunanya juga orang ini mengarang cerita. Mungkin saja dia ingin berbagi kisah pilunya yang tidak ada tempat baginya berbagi selama ini. Dengarkan sajalah pikirku. “ Umur Bapak berapa pak?” tanyaku memancing. “ Saya sudah 43 tahun dan isteri saya 47 tahun” kenangnya. Sepertinya umur Bapak ini lebih muda dari yang saya perkirakan ditlik dari raut wajah dan tampilannya. Dia lebih kusut dan nampak jauh lebih tua dari umur yang diutarakan itu. “Saya tidak punya anak hanya pernah memungut anak angkat yang sekarang tidak lagi mau memperhatikan saya” urainya lagi. Ah bapak ini mengingatkan saya pada cerita sinetron televisi yang dikarang itu.

“Kamu sudah menikah ya nak ?” Tanya bapak itu dengan datar. Saya tersentak saja apa maksudnya. Saya memberitahunya bahwa saya sudah menikah dan punya anak satu. “Jaga keluargamu nak dan jangan sampai selingkuh dengan wanita lain” petuahnya. Perjalanan sudah menjauh dan dia mengingatkan bahwa nanti dia turun didepan pasar Singosari. “Saya sekarang tidak punya siap-siapa, tidur dipinggiran toko saja, kerja serabutan. Yang peting masih bisa makan, jadi kuli pasar di Singosari” kisahnya pilu luruh. Sebuah kisah perjalanan kehidupan yang lumayan pahit rasanya. “Pak ? kenapa ga pulang kampung ke Lampung saja?” saranku merunut tempat asalnya. “Saya hanya dua bersaudara, saudaraku lainnya entah kemana saya tidak tahu lagi ” jawabnya. “Sudahlah mungkin ini jalan hidup saya sendiri yang kiranya saya ikhlas menerimanya” ujarnya pasrah. “Kamu baik-baik saja dengan keluargamu nak ?” doanya.

Kota Singosari mulai sepi. Toko-toko mulai tutup. Rasanya kehidupan hari ini mulai istirahat dari aktifitas sibuknya. Saya berhenti depan pasar Singosari yang sudah sepi. “Saya tidur disitu” jelasnya sambil menunjuk jembatan penyeberangan tepat didepan Pasar Singosari. Udara dingin menyadarkan saya bahwa bapak ini akan berselimut alam dan cuaca dingin sepanjang malam ini. Hati saya tertusuk jauh mengalahkan dinginnya udara malam dikota Singosari ini. Dengan sendu senyap bapak itu mengucapkan terimakasih atas tumpangannya. “Sama-sama pak” balasku. “Jaga diri baik-baik pak” lanjutku.

Dengan setengah hati saya lanjutkan perjalanan ini. Hatiku terusik dengan dingin dan penggalan kisah realitas yang telah kudengar dari mulut lugu dan jujur tadi. Tampa kutanyakan namanya pula saya telah belajar seuntai kisah nyata yang benar-benar berharga di malam special ini. Sampai di kost-kostan saya belum bisa memejam mata ini. Karenanya, kuraih laptopku, kucatat penggal kisah pilu bapak itu untuk mengingatkan betapa kehidupan benar-benar nyata adanya. Masih ada kepiluan yang tak terungkap pada sekitar diri kita. Betapa kontrasnya dengan apa yang kutemui selanjutnya, muda-mudi dengan asyik masyuk bergelayut mesra dengan lawan jenisnya di sepanjang jalan Soekarno Hatta kota Malang. Padahal malam telah larut dan yakin saja mereka bukan pasangan sah sebagai suami isteri. Mereka hanya menyalurkan hasrat hedonisnya semata menghabiskan malam dengan kesenangan yang tak halal itu. Bapak itu tenggelam bersama nasib dan kehidupan yang tidak berpihak padanya.

Catatan ini kudedikasikan buat Bapak misterius malam ini yang mengajarkan padaku catatan pinggir jalan tentang kenyataan dan perjalanan hidup yang terasa lirih pilu dan menusuk jauh dikedalaman jiwa. Sayangnya, saya yakin bapak itu pasti luput membaca catatan ini bahwa dia telah berbagi satu hal yang sangat berharga bagi saya dan mungkin untuk kehidupan lain.

Selamat jalan bapak.

Malang, tengah malam
22 Juni 2010

Fahrinotes.

Read More......

Selasa, 15 Juni 2010

MURAHNYA HUKUM LALU LINTAS.

Satu jam yang lalu, saya terperangkap macetnya lalu lintas di daerah bencana Porong Sidoarjo. Dampak lumpur Lapindo Berantas telah menghancurkan sarana transportasi utama jalan raya Porong. Saat ini, untuk kesekian kalinya ditimbun lagi guna meninggikan ruas badan jalan tersebut agar tidak tergenang hujan yang masih saja mengguyur deras. Akibatnya, macet lagi-macet lagi.
Jalan raya Porong itu jadi vital bagi saya yang sedang menempuh pendidikan lanjut di Unibraw Malang. Saya tinggal dikota Suarabaya bersama keluarga kecil. Sekitar dua tahun saya mengakrabi jalan ini dengan ragam kompleksitas masalah yang mewarnainya. Salah satu masalah utamanya adalah Razia Ilegal para polisi lalulintas, selain macet yamg telah saya ceritakan sebab musababnya tadi.

Setela keluar dari perangkap macet dan panasnya suasana sekitar Lapindo Berantas tepatnya dipertigaan mulut Tol Porong, kalau dari arah Surabaya menuju Malang maka kita akan memasuki pasar porong. Jalannya padat dan penuh dengan kendaraan besar. Sebelum pasar terdapat gang kecil sebelah kiri jalan dari arah Surabaya terdapat razia oleh para polantas yang dengan sergap menahan banyak kendaraan khususnya roda dua. Hari ini mungkin agak sial bagi saya, saya ditahan dan digiring masuk kearah gang tersebut. Setelah basa basi saya ditunjukkan ragam pelanggaran yang ada pada motor saya. Spionnya kurang satu, tidak punya baut/mur, dengan inisiatif sendiri saya tunjukkan surat-surat kendaraan dan SIM. Saya dialihkan ke petugas lain yang sedang sibuk dengan corat-coret surat tilang yang dibawanya di atas motor patroli polantas itu. Surat-surat saya ditahan.

Sambil menunggu giliran, saya didatangi oleh petugas lainnya. “Sudah tahu pelanggarannya?” ujarnya. Dengan tegas mantap saya jawab “ saya tidak tahu”. Mendengar jawaban saya Akhirnya saya dialihkan ke petugas lainnya lagi. Entah apa dalam pikirannya, mungkin saja masih ada semburat ketakutan dalam lubuk hatinya. Petugas itu berjalan dan bergabung dengan teman lainnya kearah jalan, tentu saja, untuk menangkap mangsa baru lagi.

Petugas yang sibuk dengan surat tilang diatas motor polantasnya tadi memegang surat-surat saya. Bertanya dan menyelidik ”pelanggarannya apa ?”. Saya jawab “ kaca spion hanya satu”. “Wah itu Rp. 51.000” Saya bingung dengan cermatnya sang petugas menghafal nomimal rupiah yang jadi sanksi. Setahu saya biasanya petugas yang intelek akan menjelaskan pasal-pasal dan baru menjelaskan sanksi yang termuat dalam UU Lalu lintas. “Mau bayar di sidang pengadilan atau dititipkan disini ? ” Saya makin tercengang dengan tingkah aneh petugas Polantas dikawasan bencana ini. Menawarkan jasa penitipan yang sangat “tulus” tentunya. Sengaja kata TULUS saya beri tanda kutip karena saya tidak menangkap irama ketulusan sama sekali. Sekedar sebuah sarkasme semata. Bagaimana tidak, penawaran jasa penitipan ini tidak didukung oleh sikap yang tulus pula. Sekelompok petugas yang memakai masker penutup wajah, pakaian dinasnya tidak terbuka seluruhnya alias nama identitasnya tidak terlihat sama sekali, dengan berani menawarkan jasa penitipan pula. Untuk apa kata TULUS perlu dilontarkan ?.

Saya juga paham bahwa dengan spion hanya satu memang melanggar aturan lalu lintas, tetapi cara petugas menindak pelanggaran yang kurang saya pahami. Dalam aturan yang sempat saya browsing, bahwa aturan razia juga sangat penting dimana lebih kurang 50 meter sebelum tempat razia harus ada tanda pemberitahuan. Petugas harus menanyakan surat kelengkapan kendaraan dan SIM. Memperkenalkan diri dengan sopan, tidak menggunakan masker penutup muka, punya identitas lengkap. Saya juga bertanya dipengadilan mana persidangan dilakukan, jawabnya “Pengadilan Sidoarjo”.
Sebagai orang luar daerah tentu saja saya tidak tahu menahu dimana gedung itu berada.

“Bayar sekarang atau dipengadilan” ujarnya lagi. “Kalau saya sidang surat apa yang ditahan?” Tanya saya. “STNK dan sidangnya tanggal 25” ketusnya. Dalam hati, saya geli dan gelo, barabe neh saya ga bisa kemana-mana dengan motor. Padahal saya sedang butuh bimbingan mengakhiri tesis akhir. “Bayar disini sekarang atau mau apa?” wah rupanya mereka ga sabar lagi. “Banyak yang antri kok” tepisnya lagi. Saya diharuskan untuk mengeluarkan jurus negosiasi juga. “Pak, saya hanya spion yang kurang, saya mahasiswa buru-buru neh, saya minta keringanan saja”. Dengan alotnya negosiasi nomimal itu saya gugat. Terlalu besar untuk ukuran pelanggaran ringan ini. “Boleh kurang tapi Cuma Rp. 1000 (seribu)” ujarnya mesem-mesem. “Terserah, saya hanya punya Rp. 20.000 saja” kata saya.

Mungkin sudah kesal, atau antrian baru mulai menumpuk maka petugas itu mengalah. “Ya sudah, sini Rp. 30.000 saja” ujarnya. Saya juga sudah diburu waktu maka saya keluarkan Rp. 25.000. “Cepat mas” hardiknya. “Kok kurang” tambahnya lagi. Saya akhirnya tambahkan Rp. 3.000 lagi sebagai bentuk protes saya tidak mau menggenapkan apa yang dimintanya.

Akhirnya, hukum atau aturan lalu lintas saya beli dengan harga murah Rp. 28.000 hari ini. Pelajaran buruk bagi penegakkan hukum yang sedang kita risaukan hari-hari terakhir dinegeri ini. Pada “pasien” lainnya terlihat mereka tergeleng-geleng kepalanya pertanda protes. Sialnya, hanya itu yang bisa dilakukan pada saat razia legal ini berlangsung. Penuturan warga sekitar daerah itu bahwa praktek ini sering dan berlangsung cukup lama ditempat saya membeli aturan ini. Kasihan negeri ini, para aparatnya seenaknya tawar menawar aturan tampa standart yang jelas.

Satu kalimat yang sangat sedih dan terdengar lirih bagi saya dari mulut manis petugas yang diperuntukan untuk kelancaran lalu lintas itu, tentu saja masih dalam tutupan maskernya, “Jauh-jauh dari Bima……………….??????.........?”. Isyarat bahwa dia belum puas dengan nominal yang dibayarkan. Kalau ini bukan rakus tentu tidak menghargai perbedaan dan daerah lain. Sangat disayangkan…?

Pembaca, inilah cikal bakal keruntuhan. Penegak hukum tidak bertindak sesuai hukum itu sendiri. Lebih miris lagi, sedemikian murahnya sebuah hukum. Semoga tidak terulang dan tidak ada petugas Negara yang mengulanginya lagi. Semoga notes singkat ini bisa dibaca oleh para petugas abdi Negara, bil khususnya, Polisi Lalu Lintas, untuk berbenah dan sadar diri.

Semoga ini tidak menegaskan sebuah pameo sarkasme polisi lalu lntas kita: hanya ada 3 polisi baik, 1. Polisi Hoegeng, 2. Patung Polisi dan 3. Polisi Tidur.

Fahrinotes.
Porong Sidoarjo, 15 Juni 2010
(Korban)


Read More......

Rabu, 09 Juni 2010

TRAGEDI SANG CALON INTELEKTUAL.

Pandangan ini sangat penuh subjektifitas, karenanya boleh saja digugat dengan amarah sekalipun. Namun, realitas aneh telah melanda sekalangan mahasiswa dengan hedonisme yang luar biasa adanya. Sebuah capaian yang sangat jauh dari predikat mahasiswa yang nota bene berlomba dan mengutamakan rangkaian prestasi dan mendongkrak prestise. Sungguh, ini memiriskan karena dilakoni oleh sang calon intelektual pada saat berada dikawah candra penggemblengan diri untuk bersiap memasuki gelanggang kehidupan nyata. Hedonik, gaya hidup yang mengutamakan kesenangan diri meski melanggar tata, nilai, krama, fitrah dan pula ajaran agung bernama agama.

Baru-baru ini, survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar mengungkap, 97 persen remaja pernah menonton atau mengakses pornografi, 93 persen pernah berciuman bibir. Sedangkan 62,7 persen pernah berhubungan badan dan 21 persen remaja telah melakukan aborsi. Data tersebut cukup menjadi alasan kuat bagi semua pihak untuk mencemaskan masa depan putra-putri yang tengah berajak dewasa ini. Apa yang terjadi dengan remaja Indonesia saat ini? Lalu bagaimana cara menangkal anak-anak generasi masa depan bangsa ini tidak terjerumus dalam lubang free sex?

Dulu, dua tiga dekade lampau, dikampung saya ujung timur negeri gersang yang bernama Bima, gaya pacaran masih beradab dan penuh norma etika. Menemukan seorang wanita yang berbusana sedikit minim di tempat umum adalah “keberuntungan” adanya. Disebut beruntung karena itu hal langka dan sulit dijumpai. Saat ini, keadaan telah berada situasi yang bergeser terbalik. Justru sangat mudah melihat ketatnya “kaos adek” dari gerombolan gadis-gadis muda yang berkeliaran diwilayah publik. Sesungguhnya, sebenarnya hanya layak digelar di ruang privat semata. Kalau ada anak laki-laki muda yang sedang “silaturrahim” dengan sang pujaan diteras rumah, biasanya sangat malu bila ada orang yang lewat dihalaman melihat acara kencannya. Tapi kini, kadang orang yang lewatlah yang buru-buru berganti arah karena malu melihat kemesraan pasangan muda di emperan teras rumahnya. Sebuah pergeseran nyata akan budaya malu. Malu bukan lagi milik pelaku dan pelanggar norma yang dengan mesra berhimpitan manja, melainkan diperuntukkan kepada siapapun yang menyaksikan pelanggaran itu terjadi. Intinya, malu bukan pada pelakunya lagi tapi pada saksi.

Kini, kembali pada tema mahasiswa masa kini, hinggar binggar kota telah melenakan sang generasi muda kita. Mahasiswa yang awalnya sangat teguh dengan tekadnya untuk meraih sebanyak mungkin pengetahuan dan ilmu untuk membekali diri, perlahan luntur dan rubuh, memanfaatkan kesempatan yang ada, selagi jauh dari jangkauan pengawasan sang Pembina disiplin, orang tua. Gelagat yang kian mudah terbaca semakin banyak saja kasus “kecelakaan” dibanyak daerah/kota tujuan pendidikan kita. Luar biasanya, kejadian-kejadian yang saya temui setahun terakhir ini, “kecelakaan” hebat itu justru disebabkan oleh “bentrok yang manis” antar sesama mahasiswa/mahasiswi dari satu daerah. Dari negeri yang sama saling “menabrak” melabrak batas-batas yang sepatutnya. Sepertinya, gejala ini menjurus pada geliat predatorisme. Saudari dari satu kampung bukan lagi dijaga layaknya pagar bagi tanamannya. Tetapi, dengan tega “dimangsa” oleh sekumpulan kambing pemamah biak. Bukan berarti kita memaklumi kalau umbar nafsu meski bukan pada saudara sekampung itu boleh, tetapi kita disini bisa mencermati bahwa demikian semakin ganasnya hedonisme kalangan ini.

Terakhir, betapa galaunya hati, ketika mendengar sumpah serapah, cerita bangga, senyum simpul dan bahkan menganggap sebuah pencapaiaan prestasi rasanya, ketika saudara-saudara muda kita menepuk dada mendeklarasikan diri bahwa mereka telah berhasil dengan mantap “menikmati” lalapan daun muda. Rasa bangga yang bergeser terbalik dari bidang-bidang prestasi akademik, ketrampilan dan prestise kepada aktifitas hedonis, perampasan harapan dan pelanggaran fitrah. Bukankah itu sesungguhnya adalah sebuah aib dan layak malu ?

Bagi kita sebenarnya ini adalah tragedy !!!!

Pembaca, ini bukan mengada-ada tapi realitas yang tengah terjadi ditimbun oleh dinginnya cuaca dan kurangnya rasa peduli kita semua. Wahai orang tua yang baik, anak-anak kita tengah membutuhkan perhatian yang lebih lagi dari kita walau jarak yang jauh. Wahai diri, resapkanlah kesadarn yang tertinggi lagi. Moga kita, lebih khususnya teman mahasiswa/i, jauh dari yang sedemikian itu.

Malang Hening Malam,
28 Mei 2010

(fahrinotes)
Salam.

Read More......

Selasa, 01 Juni 2010

UNTUK SANG ISTERI (Sepenggal Puisi Dari BJ Habbie)

Sebagai rasa cinta, Habibie pun menuliskan sepenggal puisi untuk mengenang kepergian Ainun. Berikut petikan puisi karya Habibie untuk sang istri tercinta, Ainun Hasri Besari BJ Habibie.

Isteri Tercintaku

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,

dan kematian adalah sesuatu yang pasti,

dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,

Adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.

Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,

Pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,

Aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,

tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.

Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan,

Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,

kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

selamat jalan sayang,

cahaya mataku, penyejuk jiwaku,

selamat jalan,

calon bidadari surgaku ....

BJ HABIBIE

Read More......

My Friend Follow Me

Label

Musisi Cilik

Musisi Cilik
Hidup Seperti Musik Bukan Aturan

AL QUR'AN SPYRITE :

MAKA NIKMAT TUHAN KAMU YANG MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN ? (QS. Arrahman:31) (diulang sebanyak 31 kali).
Template by KangNoval & Abdul Munir | blog Blogger Templates